FreeTalk with Ayu Gabriel – Kalau Mau Jadi Penulis Ya Harus Menulis

Categories: Profil Penulis
No Comments

Pada Jumat, 25 April 2014, Stiletto ngadain interview bersama Mbak Ayu Gabriel, penulis buku Everlasting-Cinta Tak Akan Pernah Lupa yang terbit di Stiletto Book.

Everlasting, karya Ayu Gabriel

Mbak Ayu Gabriel ini adalah seorang penulis sekaligus penerjemah. Dia juga penikmat buku, film dan musik. Meskipun sejak kecil sudah suka menulis, tapi baru belakangan ini dia menekuninya dengan serius. Everlasting adalah novel keduanya.

Yuk, langsung simak aja obrolan Stiletto dengan Ayu Gabriel dalam FreeTalk kali ini.

Stiletto Book (Q):

Tokoh utama novel Everlasting, Kayla, dia tuh punya karakter yang unik. Kayla suka terobsesi sama cowok yang sedang dia suka. Kayla juga sangat rapuh sampai-sampai harus menghapus kenangannya tentang cinta pertama. Apa ada riset khusus untuk membangun karakter tokoh ini?

Ayu Pujiastuti (A):

Ya, ada riset khusus karena aku ingin tokoh yang ada di bukuku mendekati tokoh yang sesungguhnya–dalam arti tokoh itu bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ini kan bukan buku fantasi. Tapi tentu saja itu bukan riset yang rumit seperti yang kita lakukan kalau kita akan membuat paper atau skripsi.

Aku perlu mencari informasi apakah suatu trauma emosional memang bisa memengaruhi otak dan menyebabkan gangguan pada memori sehingga menimbulkan kelupaan.

Stiletto Book (Q):

Wow! Sounds great! Berapa lama sih waktu yang dibutuhkan Mbak Ayu Gabriel buat menulis novel Everlasting? Terus, kendalanya apa aja?

Ayu Pujiastuti (A):

Oke, aku memang butuh waktu cukup lama untuk membentuk Everlasting menjadi versi yang sekarang, lebih dari satu tahun.

Kendalanya adalah aku sering tergoda dengan ide baru dan ingin memasukkannya ke dalam cerita. Kalau mengubah satu bagian, menambah atau menghilangkan sesuatu maka aku harus mengecek dan memastikan bagian itu tetap nyambung dan nggak bertentangan dengan keseluruhan cerita.

Karena naskahnya panjang, cukup makan waktu untuk melakukannya, kurang lebih setahun karena sempat didiemin dulu selama beberapa waktu.

Stiletto Book (Q):

Lama juga, ya. Tapi emang sih, novel Everlasting ini yang paling tebal loh, di Stiletto. Tapi ceritanya ngalir dan lucu.

Nah, mengingat prosesnya yang sangat panjang ini, apa tips dari Mbak Ayu Gabriel buat Stilovers yang pengin menjaga napasnya tetap panjang untuk menyelesaikan naskah novelnya?

Ayu Pujiastuti (A):

Tips menulis ya…. Oke, ini berdasarkan pengalamanku ya…. Pertama, harus suka dulu. Kalau kita mengerjakan sesuatu dengan senang hati maka kita bisa enjoy dan ide bisa datang dengan lancar.

Yang kedua, paling nggak kita punya garis besar (outline) tentang apa yang ingin kita tulis. Di otak kita sudah ada gambaran tentang who, what, when, where, why dan how. Ini akan menjadi pedoman kita dalam menulis. Biasanya sih aku bikin semacam diagram untuk ini. Kalau nanti dalam proses revisi ada yang ingin diubah, ditambah, dan sebagainya, itu sah-sah saja. Setiap penulis punya preferensi sendiri-sendiri.

Ketiga, harus banyak membaca. Resources dan referensi itu penting bagi penulis supaya wawasan kita luas dan apa yang kita tulis sesuai dengan apa yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tokoh kita ada di pesawat, nah, kita harus tahu apa sih, rutinitas yang terjadi di dalam pesawat. Kita nggak bisa menulis si tokoh sibuk sms-an, karena kita semua tahu ponsel harus dimatikan jika pesawat sedang mengudara karena alasan keselamatan. Hal-hal semacam itulah.

Membaca juga baik untuk mengatasi writer’s block, yaitu kondisi mandek ide. Itu bisa membuat otak kita fresh dan bisa jalan lagi.

Kalau soal ketebalan novel, kebetulan aku memang suka novel yang tebal karena secara pribadi rasanya lebih nendang (lama habisnya). Aku juga suka menambahkan hal-hal ringan dan lucu supaya novel aku menyenangkan untuk dibaca.

Dina Begum (Q):

Ceritain dong, gimana proses kelahiran naskah Everlasting sampai jadi novel. Apa pakai berantem sama editor (drama), terus siapa yang menentukan judul dan cover? Cover-nya kok seperti teenlit?

Ayu Pujiastuti (A):

Proses kelahiran novel ini terinspirasi dari novel pertama sebenarnya. Awalnya tuh, dari daftar hal-hal yang kita sukai tentang seseorang terus aku pengin jadiin novel.

Wah, Mbak Herlina P. Dewi (editor) baik kok, jadi nggak pake berantem. Pemilihan judul dan cover kita diskusikan bersama. soal cover, sebenarnya ada beberapa pilihan dan akhirnya jatuh ke cover yg sekarang. Kayak teenlit, ya? Biar yang baca ikut merasa muda terus.

Herlina P Dewi (A):

Eh, ikut nimbrung dari pertanyaannya Mbak Dina Begum, ah. Saya nggak berantem sama Mbak Ayu Gabriel 🙂 tapi berantem sama diri saya sendiri karena niat awalnya mau motong beberapa bagian biar nggak terlalu tebal, eh, nggak bisa. Hahaha. Saking udah bagus dan saling berkaitan satu sama lain.

Jadi kalau saya hilangkan di bagian tertentu, saya harus edit bagian lain juga. Jadi saya sebal karena ternyata saya tidak bisa menggal itu naskah. Hahaha. Lagian, menurut saya, setiap detail di naskah itu memang udah bagus, jadi nggak perlu diedit. Paling beberapa hal kecil aja. Edit minor sekali.

Good job, Mbak Ayu! Suka banget sama novel ini.

LaiLy Rachmawati (Q):

Dari sinopsisnya, kayaknya ceritanya dalam banget ya, Mbak. Apa ini kisah pribadi ? Hehe.

Ayu Pujiastuti (A):

Bukan kisah pribadi, kok…. Ini hasil imajinasi.

LaiLy Rachmawati (Q):

Oh, kirain kisah pribadi, Mbak. Pernah gak, buntu ide waktu proses penulisan? Gimana cara ngatasinya ?

Ayu Pujiastuti (A):

Kayaknya setiap penulis pasti pernah mengalami kebuntuan. Cara mengatasinya bisa dengan membaca, jalan-jalan, ngumpul sama teman dan sebagainya, biar kita fresh lagi.

Sylviana Pratiwi (Q):

Menurut Mbak, bagian mana sih, dari Everlasting yang bikin Mbak pusing nentuin jalan ceritanya? Terus, bagian mana yang menurut Mbak sendiri punya feel mendalam?

Ayu Pujiastuti (A):

Bagian paling pusing adalah membangun klimaks supaya pembaca ikut merasakan apa yg dialami tokoh. Aku suka bagian waktu Dylan akhirnya nekat ngajakin Kayla pacaran dan adegan dance di pantai juga romantis menurutku.

Deyanggi Bhi Author (Q):

Kak, apa yang bikin novel ini beda dari yang lain? Terus selain tentang cinta yang datang lagi, konflik apa yang dipadukan dal novel ini?

Ayu Pujiastuti (A):

Temanya mungkin bukan tema baru, tapi cara aku menulis atau menyampaikan cerita berbeda dengan penulis lain. Ada konflik tentang keluarga, dengan sesama rekan kerja, dan tentu saja dengan diri tokoh itu sendiri.

Deyanggi Bhi Author (Q):

Kak, siapa penulis favorit Kakak? Apa gaya penulisannya Kakak ikuti?

Ayu Pujiastuti (A):

Aku suka Sophie Kinsella. Rasanya ada pengaruh juga, tapi aku berusaha untuk bikin gayaku sendiri. Kalo dari dalam negeri aku suka Dee.

Dinar Arisandie (Q):

Apa yang menginspirasi Kakak untuk menulis cerita novel ini? Kisah pribadi, buku, atau teman-teman Kakak? Udah ada rencana untuk bikin novel baru lagi belum setelah ini?

Ayu Pujiastuti (A):

Inspirasi aku dapat waktu bikin buku pertama, terus waktu baca buku orang lain juga.

Novel Everlasting, karya Ayu Gabriel

Dinar Arisandie (Q):

Mbak, aku sempet baca review novel ini di blog Red Carra dan nemu quote dalam novel ini “Di kalangan cowok, mungkin kebahagiaan identik dengan mengendarai mobil sport mewah, atau punya gadget keluaran terbaru atau mungkin ehem … penis sepanjang 17 cm?” (halaman 9). Itu fakta atau cuma kira-kira, sih? Waktu pertama baca quote itu jadi ketawa-ketawa gitu, deh. Apalagi di bagian akhir quote.

Ayu Pujiastuti (A):

Mengenai ehem … yang 17 cm itu aku cari infonya dari internet, kok.

Ana Rosdiana (Q):

Apa sih, pesan yang ingin Mbak Ayu Gabriel sampaikan dalam novel Everlasting ini?

Ayu Pujiastuti (A):

Pesan yang eksplisit sesuai sub judul, cinta tidak akan pernah lupa. Kalau yg implisit, kebahagiaan dalam keluarga, diri sendiri, dan dalam interaksi kita dengan orang-orang yang kita sayangi.

Hana Mahdiyyah (Q):

Mbak, bagi-bagi tips dong, bagaimana mengukur karya kita apakah sudah layak dibaca. Tidak hanya dari sisi teknis kepenulisannya tapi juga dari sisi isi dan tema yang diangkat. Sering kali saya merasa ide tema yang saya ingin angkat terkesan biasa atau mainstream.

Ayu Pujiastuti (A):

Bisa minta orang terdekat kita untuk membacanya, misalnya saudara, teman (tapi tentunya mereka harus orang yang hobi membaca dan bisa kasih masukan). Aku melakukan itu.

Chi Yennesy Damayanti (Q):

Waktu mau masukin novelnya ke Stiletto, sempat ada keraguan gak untuk memasukkan? Bagaimana tips ketika mau mengirimkan draft ke penerbit supaya novel kita dilirik dan dapat tanggapan positif? Apakah Kakak juga memakai self editing buat Everlasting?

Ayu Pujiastuti (A):

Tentu ada keraguan, takut nggak sesuai dengan visi dan misi Stiletto (walaupun aku sudah masuk kategori perempuan). Kalau naskah sudah jadi, sebaiknya jangan langsung dikirim ke penerbit. Diamkan dulu, terus revisi… minta orang lain baca dan minta masukan.

Herlina P Dewi (A):

Nimbrung lagi untuk pertanyaan dari Chi Yennesy Damayanti. Dan ternyata Everlasting sesuai dengan visi dan misi Stiletto Book, dong.

Soalnya, selain temanya “perempuan dan kehidupan percintaannya”, dalam novel Everlasting ini digambarkan karakter perempuan yang berani, mandiri, dan tahu apa yang diinginkan untuk hidupnya. Smart girl like the author.

Ada beberapa pesan yang bagus juga, tentang keluarga, persahabatan dan juga lingkungan hidup. Lengkap!

Mey Arielleana (Q):

Apakah riset dilakukan untuk semua tokoh, Mbak? Kemudian, novel Everlasting ini novel ke berapa?

Ayu Pujiastuti (A):

Ya, terutama tokoh utama. Kalau tokoh sampingan aku memastikan semirip mungkin dengan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Ada juga yg terinspirasi dari orang-orang tertentu yang aku kenal. Everlasting adalah novel kedua.

Ana Rosdiana (Q):

Apa yang memotivasi Mbak Ayu Gabriel untuk menjadi seorang penulis? Bagaimana cara Mbak membangun dan mempertahankan feel dalam cerita? Bagaimana perasaan Mbak Ayu Gabriel saat pertama kali karyanya diterbitkan?

Ayu Pujiastuti (A):

Selain suka membaca, aku memang suka menulis dari kecil. Aku punya buku harian, buku puisi, beberapa cerpen dan drama (untuk konsumsi sendiri). Setelah nggak kerja kantoran aku mulai menekuni lagi hobi lamaku ini.

Untuk mempertahankan feel, kita harus fokus. Outline bisa membantu agar kita nggak melenceng. Waktu novel pertama diterbitkan rasanya seperti duduk-duduk di bulan sabit seperti di cover Everlasting itu.

Hana Mahdiyyah (Q):

Ada yang bilang apa pun yang instan itu gak akan bagus jadinya. Nah, ada tuh, event menulis dengan mmberikan target waktu sebulan untuk mnulis novel. Target nulis 1000/2000 kata per hari. Nantinya novel terbaik yang menang. Menurut Mbak, apakah itu termasuk yang instan?

Ayu Pujiastuti (A):

Aku rasa event seperti itu ada manfaatnya. Karena kalau mau jadi penulis ya harus menulis. Dengan adanya tenggat waktu kita jadi terpacu untuk menulis setiap hari. Cuma menurut aku memang naskah mentah (baru selesai) biasanya kurang bagus. Perlu direvisi. Selama itu untuk menambah jam terbang dan menambar rasa percaya diri penulis aku sarankan ikuti aja event seperti itu. Apalagi biasanya ada juri yang bisa memberi masukan.

Yunita Hentika Dani (Q):

Karakter yang kuat dalam setiap novel yang Mbak Ayu buat, adakah yang sulit lepas dari imajinasi Mbak Ayu Gabriel?

Saya ingat ada beberapa aktor hebat yang begitu sempurna memainkan perannya sampai kesulitan lepas dari karakter tersebut. Sebagai penulis, apakah ada karakter tertentu yang pernah diimajinasikan itu “mencengkeram” Mbak?

Punya karakter favorit yang sangat disuka? Dari buku apa kalau boleh tahu?

Ayu Pujiastuti (A):

Biasanya aku bikin dulu gambaran si tokoh (baik secara fisik atau sifat), dan ini aku tulis di buku terus aku berpegang pada gambaran itu supaya tetap konsisten.

Mungkin beda ya, kalau memerankan tokoh dengan menuliskannya. Kalau menulis kita bisa selalu mengecek ulang dan mengoreksi kalau memang nggak sesuai. Dalam proses penulisan tentu saja aku berusaha masuk ke dalam tokoh, bahkan kadang-kadang walau nggak sedang menulis, otak terus berproses.

Wah, banyak ya, karakter favoritku. Soalnya kalo baca buku yang bagus, nah, karakter itu langsung jadi favorit. Salah satunya tokoh Lexi Smart di Remember Me (Sophie Kinsella).

Carolina Ratri (Q):

Terus terang, saya langsung “gubragh” pas baca bahwa Kayla jatuh cinta sama Aidan karena bokong seksinya 😆 Mbak Ayu Gabriel ngebayanginnya gimana tuh, Mbak? Maksudnya ada referensi bokongnya siapa gitu? 😀

Ayu Pujiastuti (A):

Bokongnya Ian Somerhalder 😆

Herlina P Dewi (A):

Silakan bayangkan bokongnya Bang Ian Somerhalder, Mbak Carolina Ratri 😆

Seru banget kan, obrolan di #FreeTalk sama Mbak Ayu Gabriel? Obrolan pun semakin panas dan berlanjut di kantor Stiletto dan di TL pribadi kami tentang bokong seksih.

Tunggu sesi #FreeTalk selanjutnya yang pasti bakal lebih seru lagi.

Salam hangat,
Weka Swasti
Host FreeTalk

Your Thoughts