
Berikut adalah wawancara Stiletto Book dengan penulis novel Seribu Kerinduan, Herlina P Dewi di program FreeTalk yang berlangsung di FanPage Stiletto Book.
Kamu sendiri sudah membaca novel karya Herlina P Dewi ini belum, Stilovers? Novel ini berkisah mengenai perjalanan baper seorang mantan fashion editor sebuah majalah terkenal, yang kemudian mengalami plot twist dalam hidupnya hingga memutuskan untuk menjadi pelacur. Hmmm, bikin penasaran banget kan?
Jadi, yuk simak interview Stiletto Book dengan Herlina P Dewi, penulis novel Seribu Kerinduan, yang kebetulan adalah Pimpinan Redaksi Penerbit Stiletto Book pada Jumat, 6 Desember 2013.

Stiletto Book (Q): Apa alasan Mbak Herlina P Dewi mengambil setting di Jogja-Jakarta-Bandung?
Herlina P Dewi (A): Di situ diceritakan tokohnya bekerja sebagai fashion editor di majalah gaya hidup, which is kebanyakan majalah seperti ini ada di Jakarta. Kalau Bandung dan Jogja, kebetulan dua kota itu eksotis menurutku, haaa. Jadi Bandung dan Jogja kupakai untuk tempat tinggal dua tokoh utamanya yang akhirnya bertemu di Jakarta.
Dan kebetulan, aku pernah tinggal cukup lama di tiga kota itu (malah sekarang ngendon di Jogja), jadi ya cukup tahu jalan-jalan dan tempat-tempat yang cocok untuk diambil sebagai latar belakang. Aseeeek 🙂
Q: Adakah buku atau film yang memengaruhi novel ini?
A: Secara keseluruhan sih nggak, tapi aku cukup terinspirasi dari novel “Eleven Minutes”-nya Paulo Coelho yang bercerita tentang dunia prostitusi di Brazil.
Kalau film, selalu suka film yang mengangkat tema-tema dunia media, jadi film-film seperti itulah yang selalu bikin gemes untuk bikin novel dengan tokoh utama jurnalis seperti halnya Renata dalam novel ini. 🙂
Q: Dalam satu kalimat, apa yang ditawarkan Mbak Dewi selaku penulis dalam novel Seribu Kerinduan ini?
A: “Novel yang sangat pas untuk menemani waktu ngopi Anda semua.”
Hahaha. Sorry, bukan. Maksudku ini, “Tema nggak biasa yang dikemas dalam alur yang menarik dan gaya bahasa sedikit nyastra.” Hahaha. Maaf ya narsis. Namanya juga jualan.
Nova Lidya: Kenapa setelah mengadakan polling untuk penentuan cover novel Seribu Kerinduan dan pilihan masyarakat jatuh pada cover perempuan berjalan di jalanan dengan membawa payung, lalu Mbak Herlina P Dewi memutuskan untuk menjadikan cover yang bergambar perempuan duduk di sebuah tempat duduk panjang dengan memakai payung?
A: Haaa, iya … menurutku sih karena cover yang dipakai sekarang lebih matching dengan isinya. Seorang perempuan yang menunggu.
Dan juga, di tengah cover dengan warna candy-candy yang lagi banyak di pasaran, cover gelap ini terlihat lebih misterius. Harapannya sih pembaca jadi penasaran gitu.
Sahlan DeMarco: Penasaran … katanya nyelipin lirik lagu Koil yang judulnya Lagu Hujan ya … kira-kira pakai izin Mas-mase Koil kagak ya?
A: Haha. Iya, ada pernah izin ke Otong vokalisnya Koil. Habis itu aku kirimin juga dong novelnya.
Dan malah dapet apresiasi dari drummer Koil, Leon. Dia kirim email dan bilang kalau udah kelar baca novelku. Katanya sih dia suka, bahkan berharap novel ini difilm-kan. (Semoga bukan buat nyeneng-nyenengin aku doang, haha)
Plely Ana Scania: Dalam menulis pastinya banyak banget godaannya. Nah, godaan yang pernah Mbak Herlina P Dewi dapati dalam menulis novel pertama ini apa?
A: Godaan paling besar itu ya sok sibuk. Haha. Apalagi kerjaan sehari-hari udah ngoprek naskah (baca, ngedit, dll).
Ya, waktu sih godaan paling besar. Klise emang. Tapi aku inget kata Arswendo, kalau kita mau jadi penulis, ya harus meluangkan waktu khusus untuk nulis. Karena menulis seperti mencintai, butuh tindakan konkret. Pengin jadi penulis, ya nulis, apa pun godaannya, hajar aja! 🙂
Phely Ana Scania: Menurut aku sih ngebangun feel dalam cerita itu susah-susah gampang. Menurut Mbak Herlina P Dewi, gimana sih membangun dan mempertahankan feel dalam cerita? Jujur aja, rasanya saat buat cerita tanpa feel itu berasa tanpa nyawa.
A: Menurutku penulis itu seperti aktor. Ketika sedang menuliskan tokoh tertentu, kita harus menempatkan diri jadi dia.
Kalau tokoh yang dibuat menderita, kita posisikan kalau kita ada di kondisi seperti dia. Kehilangan, kita inget-inget lagi ketika kita sedang merasakan ditinggal orang. Yeah, kayak sedang berperan gitu. Kalau udah gitu, nanti hati-hati aja kalau kerasukan sifat si tokohnya. Hahaha….
Anugrah Rahmayani (Q): Terinspirasi dari apa novel Seribu Kerinduan ini?
A: Terinspirasi dari ratusan cangkir kopi yang setia menemani. Hahaha… FreeTalk ya ini temanya 🙂
Anugrah Rahmayani: Hahaha. Aku mau nanya apakah penulis menghadirkan Renata yang awalnya bukan pelacur terus jadi pelacur terus (kayaknya) balik lagi nggak jadi pelacur. Apakah ini untuk membantu men-share-kan pada masyarakat luas, bahwa menjadi dan memutuskan untuk pelacur adalah sebuah pilihan? Karena seperti yang kita tahu, kadang jadi pelacur karena terpaksa. Misal masalah ekonomi, awalnya nggak mau, tapi karena ‘enak’ akhirnya dilanjut dan nggak mau berhenti/pindah profesi, padahal kalau mau pindah profesi ya ADA JALAN. Karena ke’enak’an itulah mereka cari rasionalisasi (cari-cari alasan biar diterima publik atau bahkan dikasihani karena ‘betapa malang jalan hidupnya’). Mbak, nyambung kan sama pertanyaanku? Aku bingung ngomongnya -.- Jujur, buku ini menarik perhatianku karena bahas tentang prostitusi yang lagi marak diomongin di Indonesia, tapi sayangnya kebanyakan media memberikan komentar yang miring.
A: Nah, ada obrolan itu juga di novelnya. Obrolan seperti itu diangkat sama Dion (sahabat Renata yang mengenalkan Renata pada dunia pelacuran ini) karena takut Renata ‘keenakan’ terjebak di dunia prostitusi yang kata Dion ‘gampang dapet uang’. Dan Renata pun punya argumen sendiri tentang itu (Kalau dijelasin di sini jadi nggak seru dong ntar pas baca, he). Y
ah, aku bikin tokoh Renata jadi pelacur sekalian untuk memberikan alternatif pemikiran buat pembaca biar tidak begitu saja melekatkan stigma negatif pada profesi ini.
Meyga Kurnia: Aku punya buku Mbak Herlina P Dewi yang Mengelola Keuangan Pribadi untuk Perempuan lho, kalau nggak salah terbitnya tahun 2011. Kenapa kok lama sekali baru menerbitkan buku lagi? Apa yang membuat Mbak Herlina P Dewi pindah haluan, dari menulis buku manajemen ke novel? Dan dengar-dengar novel Seribu Kerinduan ini selesai dalam dua minggu. Apa triknya biar ide mengalir terus?
A: Hihi, sebenernya setelah buku Mengelola Keuangan, ada buku nonfiksi lagi terbit. Habis itu ada buku-buku seri A Cup of Tea (saya jadi penyusun), baru deh nongol novel ini, jadi jedanya nggak lama sih sebenernya.
Pindah haluan? Kalau buku nonfiksi itu nulis karena kewajiban (memenuhi target nerbitin buku dari Stiletto Book), kalo novel ini nulis karena seneng 🙂
Mieerae Melody: Suka dukanya waktu menulis novel ini apa sih?
A: Sukanya karena di novel ini aku mengangkat tema yang aku sukai dan pengin aku tahu, jadi proses risetnya menyenangkan karena udah kepo banget.
Dukanya … hmm … apa ya? So far sih paling masalah waktu aja sih. Bahkan novel Seribu Kerinduan ini sempat terbengkalai selama 2,5 tahun karena sok sibuk itu. Alhamdulillah akhirnya kelar hanya dalam waktu dua minggu. Ihiiiiw!
Soyuen Ayurama: Gimana caranya Mbak Herlina P Dewi membagi waktu yang efisien antara menjadi ibu, istri, kerja dan menulis?
A: Hihi, working mom: jam 8 sampe jam 4 sore. Jadi istri, pakainya shift malam (hahaha). Weekend buat anak. Jadi ya paling jam nulisnya itu antara jam 8 sampai 11 gitu Mbak. Kebetulan kurang suka nonton TV, jadi jam-jam itu dipakai buat nulis atau baca.
Kalau weekend nggak boleh buka laptop. Bener-bener hari buat anak. Dipaksa harus disiplin. (Jiaaaaah … ngemengnya kayak udah bener aja aku bagi waktu. Padahal sering begadang juga, Mbak, kalau lagi deadline)
Arniyati Shaleh: Bagaimana memupuk semangat untuk mengeksekusi sebuah novel? Apakah menulisnya dijadwal atau anytime begitu mood dating? Dan ini novelnya tentang dunia pelacur, apakah Mbak Herlina P Dewi meriset langsung atau searching di internet? Kesan apa yang Mbak dapatkan selama berinteraksi dengan dunia pelacuran?

A: Hihi, iya, mau nggak mau harus dijadwal biar kelar. Kalau nunggu mood mah bisa sampai lebaran kuda, hahaha.
Masalah riset, iya, pernah beberapa kali nongkrong di Pasar Kembang (lokalisasi di daerah Jogjakarta yang dijadikan bahan obrolan di novel ini), terus wawancara teman-teman yang tahu dunia prostitusi seperti itu.
Kesannya: dunia pelacur itu berat dan gelap. Tidak ada perempuan di dunia ini yang memilih menjadi pelacur, kehidupan yang sudah mengondisikan hidup pelacur seperti itu sehingga mau nggak mau perempuan itu mengambil jalan itu. (Serius banget ngemengnya?)
Arniyati Shaleh: Pesan moral apakah yang ingin Mbak Herlina P Dewi sampaikan? Membaca endorser yang sudah membacanya apakah ada niat membuat seasion 2 dan seterusnya?
A: Nggak ada pesan moralnya, hahaha. Saya bukan tipe penulis yang harus mengusung ‘pesan moral’ di novelnya.
Tujuan saya sih bisa menghibur pembaca, tulisan saya bisa dinikmati dan bisa jadi teman ngopi yang menyenangkan. That’s it. Kalau ada beberapa yang bilang ada hikmah setelah baca novel ini, saya anggap aja bonus.
Nah, seru kan obrolan di #FreeTalk bersama Herlina P Dewi ini?
Jadi, jangan lupa pantengin terus media sosial Stiletto Book, siapa tahu akan ada wawancara lagi dengan penulis-penulis Stiletto Book lainnya.
Buat yang belum punya novel Seribu Kerinduan karya Herlina P Dewi silakan bisa langsung menghubungi Stiletto Book melalui WhatsApp no 0881-273-1411.
Regards,
Tikah Kumala – Host FreeTalk
PS: Artikel ini sudah diedit agar lebih rapi (tanpa mengubah maksud aslinya)